Langsung ke konten utama

Aryati

    


    Di pagi hari yang cerah di kota Medan, aku melihat dirinya yang tengah menyirami bunga di pekarangan rumah. Wajahnya sangatlah indah, seperti bulan yang kutatap tadi malam, seperti bintag yang berkelipan, cahayanya seakan mendarat di wajahku yang mengusir jauh rasa kesepian.
    Perempuan itu bernama, Aryati. Elok sekali dan tak jemu untuk dipandang, seakan setiap waktu aku hanya menanti untuk menunggu dirinya, seolah dunia ini untuknya. Begitu pula hatiku yang merasa bahwa heningnya dapat diusir jauh olehnya.
    Tidak perlu berdandan dan tak perlu makeup yang tebal, wajahnya sudah sangat anggun rupawan. Baju dasternya yang berwarna merah muda dengan corak bunga menghiasi setiap lekukan tubuhnya yang putih dan ramping.
    Tukang pengantar koran yang lewat di hadapannya hampir saja jatuh masuk ke lubang parit, untungnya ontel tuanya bisa ia kendalikan. Belum lagi binar matanya yang bercahaya, bibirnya yang kemerah-merahan merekah delima. Setiap orang yang memandangya pasti akan jatuh hati hingga tergila-gila, begitulah ia tetanggaku bernama Aryati.
    "Cewek cantik, baca koran juga?" senyumku ditujukan padanya yang sedang memegang selang air di jemari lentiknya.
    "Bukan, untuk bapak." jawabnya singkat tanpa ekspresi di wajah indahnya.
    Aku memandanginya dengan seksama, memperhatikan setiap apa yang ia lakukan. Seakan-akan aku terpaku dengan keistimewaannya, bak malaikat yang datang dari kayangan.
    "Jangan diliatin, nanti naksir." ia memecah lamunanku yang baru saja berkhayal jalan bersamanya.
    Kampret, lah. Aku bersandika dengan senyum kebohongan menutupi rasa malu.
    "Eh, emangnya kalau aku naksir gimana?" ia meletakkan selang air, berjalan ke arah keran. "Jangan gitu lah, malu. Masa naksir sama tetangga." aku mengambil koran yang mendarat di pekarangan rumahku. "Ya, kan kalau naksirnya sama bidadari, gapapa.".
    Ketika ia berada di hadapan keran, tiba-tiba ia mengurungkan niatnya untuk mematikan aliran airnya, ia mengarahkan lubang selang yang ia pencet perlahan ke arahku dan menghujani kedua bola mataku.
    Tiba-tiba aku mendengar suara ibu yang memanggil dari luar yang dimana aku tak dapat melihat wujudnya.
    "Bangun, heh. Cari kerja sana!"
    Ternyata aku mimpi dan mimpi itu sangat berkesan bagiku, kuharap orang seperti Aryati ada di dunia nyata dan aku mendapatkan jodoh seperti dirinya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kapan Kau Diutus

 Ini adalah tentang dia, dan dia adalah wanita yang aku inginkan, dalam setiap malam selalu aku bayangkan, dalam tiap akhir sujud selalu kusematkan di perkataan doaku. Dia akan menjadi penerang jiwaku, membesarkan hatiku dan meneduhkan aku dari rasa penat. Tangannya akan kurasakan di kening, pipi dan dagu, telapaknya akan menghapus dua jenis air perjuangan yang menyucur deras dari wajahku. Air yang pertama adalah ngarai yang terbentuk karena pilu serta haru ketika aku telah menemukan dia, dan yang kedua adalah sungai yang terisi dikala perjuanganku menghidupinya. Dia akan merubah asinnya menjadi tawar sehingga aku tak perlu khawatir bagaimana cara menawarkannya, dia akan ada di sana dikala hatiku menyebutnya sebab dia adalah makhluk paling peka terhadap rasa. Setiap apa yang kurasakan dia mengerti, setiap perkataanku dia memahami, setiap sedihku dia menghibur, setiap lukaku dia membasuh. Aku mencintainya sebagaimana Tuhan mencintainya, dan dia mencintaiku sebagaimana pula aku. Dia lebi

Di Bawah Naungan Bulan

        Sekian banyaknya benda langit, aku lebih memilih bulan. Bulan bagiku sangat indah, tidak ada yang dapat mengalahkan keindahannya, apalagi ketika ia hadir di malam yang sunyi, di malam yang tidak ada siapapun tahu tentang sebuah rasa yang aku miliki. Rasa yang terpendam jauh di lubuk hati, telah bertahun aku menanti akan datangnya kekasih.     Bulan yang melindungiku dari gelapnya malam, sinarnya mampu membantu mengusir roh jahat dari palung kesepian. Bulan menjadikan aku lebih mandiri, karenanya aku menjadi mengerti arti kehidupan. Bulan mengajari aku betapa pentingnya waktu, sehingga menjadikan banyak momentum dalam hidupku berubah menjadi lautan rindu. Bulan yang mengasihi aku tentang kehilangan, ketika hanya ada tangis yang terpekik mendengung terbalut malam.     Bulan yang mengajari arti mengikhlaskan, dimana aku belajar tentang sesuatu yang sebelumnya tidak aku sukai bahkan aku benci namun pada akhirnya aku menjadi ikhlas dan menerima semuanya. Bulan, ia tidak dapat berbic

Lelaki Utusan Neraka

          Medan, merupakan sebuah kota yang cukup aktif di malam hari. Aku bersama dua orang temanku duduk di salah satu minimarket yang memiliki banyak makanan dari Korea Selatan. Pada malam itu aku duduk dengan mereka berdua cukup lama hingga waktu tengah malam tiba. Aku mengenakan celana pendek hotpants dan bergaya atasan casual. Rambutku sedikit pirang dan sisanya hitam pekat, jika tersorot cahaya lampu membuat rambutku sedikit memantulkan cahaya. Aku tidak terlalu tinggi tapi cukup tinggi dengan postur tubuhku yang juga tidak terlalu besar, ideal lah menurutku.     Ketika kami sedang berbincang-bincang tentang banyak hal termasuk menggibah soal teman-teman kami yang pada saat itu tidak ikut bersama kami, dia datang. Aku melihat cahaya lampu motornya yang menyorot ke arah meja kami kemudian mati, mataku reflek melihat cahaya itu tak sengaja juga melihat wajahnya. Aku cukup tertarik melihat perawakannya dan dia pun berjalan masuk ke minimarket untuk memesan.     Setelah hampir satu